Pertanyaan:
Apa perbedaan antara pamer, riya’, ujub dan sombong?
Jawaban:
Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, ash shalatu was salamu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi was shahbihi ajma’in, amma ba’du.
Ini adalah pertanyaan yang bagus, karena banyak sekali orang yang salah kaprah dalam memahami istilah-istilah di atas dan salah dalam menggunakannya.
- Pamer
Pamer dalam istilah syar’i disebut dengan al fakhr. Dalam kamus Al Mu’jam Al Wasith, al fakhr didefinisikan:
تباهى بمالَهُ وْما لقومه من محاسنَ
“Berbangga dengan hartanya dan kelebihan yang dimiliki kaumnya”.
Pamer atau al fakhr itu biasanya dalam perkara duniawi. Seperti memamerkan harta, rumah yang bagus, pakaian yang bagus, mobil yang mewah, pamer makan di restoran mewah, dan semisalnya dalam rangka untuk berbangga.
Sifat suka pamer adalah akhlak yang tercela. Allah ta’ala berfirman:
أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ، حَتَّى زُرْتُمُ الْمَقَابِرَ، كَلَّا سَوْفَ تَعْلَمُونَ
“Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur, Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu)” (QS. At Takatsur 1-3).
Allah ta’ala juga berfirman:
إِنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ
“Sesungguhnya Allah tidak menyukai setiap hamba yang sombong lagi fakhur (suka berbangga)” (QS. Luqman: 18).
Sifat suka pamer juga bertentangan dengan sifat tawadhu’ (rendah hati). Padahal kita diperintahkan untuk tawadhu. Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ وَمَا زَادَ اللَّهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلَّا عِزًّا وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلَّهِ إِلَّا رَفَعَهُ اللَّهُ
“Sedekah tidak akan mengurangi harta seseorang. Allah akan menambahkan kewibawaan seseorang hamba yang pemaaf. Tidaklah seorang hamba itu bersikap tawadhu’ kecuali Allah akan tinggikan ia” (HR. Muslim, no.2588).
Dari ‘Iyadh bin Himar radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
وَإِنَّ اللَّهَ أَوْحَى إِلَيَّ أَنْ تَوَاضَعُوا حَتَّى لَا يَفْخَرَ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ وَلَا يَبْغِ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ
“Sungguh Allah mewahyukan kepadaku agar kalian saling tawadhu’ (rendah hati) agar tidak ada seorang pun yang saling fakhr (berbangga diri) pada yang lain dan agar tidak seorang pun berlaku zhalim pada yang lain” (HR. Muslim no. 2865).
- Riya’
Adapun riya’, adalah melakukan ibadah atau amalan shalih dengan maksud untuk mendapatkan pujian dari manusia. Para ulama mendefinisikan riya’,
أن يُظهِرَ الإنسانُ العَمَلَ الصَّالحَ للآخَرِينَ، أو يُحَسِّنَه عِندَهم؛ لِيَمدَحوه، ويَعظُمَ في أنفُسِهم
“Riya’ adalah menampakkan amalan shalih kepada orang lain atau memperbagusnya di hadapan orang lain, agar mendapatkan pujian atau agar dianggap agung oleh orang lain” (Lihat Al Muwafaqat karya Asy Syatibi [2/353], Ar Ri’ayah karya Ibnu Abil Izz [hal. 55]).
Perbedaan riya’ dengan al fakhr (pamer) adalah riya‘ terjadi pada amalan shalih atau ibadah, sedangkan al fakhr (pamer) terjadi pada amalan duniawi.
Orang yang pamer harta, pakaian bagus, makanan enak dan semisalnya tidak disebut melakukan riya’. Namun orang yang menampakkan sedekahnya agar dipuji, menampakkan shalat malamnya agar dipuji, memperbagus shalatnya agar dianggap ahli ibadah, inilah contoh-contoh orang yang melakukan riya’.
Riya’ dapat membatalkan pahala amalan shalih. Allah ta’ala berfirman:
قالَ اللهُ تعالَى: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْأَذَى كَالَّذِي يُنْفِقُ مَالَهُ رِئَاءَ النَّاسِ وَلَا يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ صَفْوَانٍ عَلَيْهِ تُرَابٌ فَأَصَابَهُ وَابِلٌ فَتَرَكَهُ صَلْدًا لَا يَقْدِرُونَ عَلَى شَيْءٍ مِمَّا كَسَبُوا وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu merusak sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan penerima), seperti orang yang menginfakkan hartanya karena riya’ kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari akhir. Perumpamaannya (orang itu) seperti batu yang licin yang di atasnya ada debu, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, maka tinggallah batu itu licin lagi. Mereka tidak memperoleh sesuatu apa pun dari apa yang mereka kerjakan. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang kafir.” (QS. Al Baqarah: 264).
Allah dan Rasul-Nya mencela pelaku riya’ dan mengabarkan bahwa riya’ termasuk kesyirikan. Karena orang yang melakukan riya’ membuat tandingan bagi Allah ta’ala dalam niat ibadah. Allah ta’ala berfirman:
اِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلَاةِ قَامُوا كُسَالَى يُرَاءُونَ النَّاسَ وَلَا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا قَلِيلًا
“Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya’ (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali” (QS. An Nisa: 142).
Dari Mahmud bin Labid Al Anshari radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
إنَّ أخوَفَ ما أخافُ عليكُمُ الشِّركُ الأصغرُ: الرِّياءُ، يقولُ اللهُ يومَ القيامةِ إذا جَزَى النَّاسَ بأعمالِهم: اذهَبوا إلى الذينَ كنتم تُراؤونَ في الدُّنيا، فانظُروا هل تَجِدونَ عِندَهم جزاءٍ.
“Yang paling aku takutkan dari kalian adalah syirik ashghar, yaitu riya’. Allah akan berkata di hari Kiamat ketika memberikan balasan kepada manusia atas amalan mereka: “Pergilah kalian kepada pihak-pihak yang kalian jadikan tujuan riya’ di dunia. Lihatlah apakah mereka bisa memberikan ganjaran kepada kalian hari ini?”” (HR. Ahmad, dishahihkan Al Albani dalam Shahih At Targhib no. 32).
- Merasa Senang Setelah Beribadah
Yang sering disalah-pahami dengan riya’ adalah jika seseorang merasa senang ketika dapat melaksanakan suatu ibadah. Jika seseorang berkata dalam hatinya, “Alhamdulillah saya bisa melaksanakan shalat tahajud”, “Alhamdulillah Allah beri saya taufik untuk sedekah”, “Alhamdulillah bisa hadir di majelis ilmu” dan semacamnya, tanpa bermaksud mencari pujian dari orang lain, maka ini perbuatan yang terpuji. Riya’ adalah jika ia menampakkan hal itu kepada orang-orang dan berharap mendapatkan pujian dari orang-orang.
Adapun merasa senang dengan ibadah, ini adalah hal yang dipuji oleh Allah ta’ala dan Rasul-Nya. Allah ta’ala berfirman:
قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَٰلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُونَ (58)
“Katakanlah (wahai Muhammad), “Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Itu lebih baik daripada apa yang mereka kumpulkan” (QS. Yunus: 58).
Dari Umar bin Khattab radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
مَن سرَّتهُ حسنتُهُ وساءتْهُ سَيِّئتُهُ فذلِكم المؤمنُ
“Siapa yang merasa senang dengan kebaikan yang dilakukannya dan merasa gelisah dengan keburukan yang dilakukannya, maka itu tanda ia seorang Mukmin” (HR. At-Tirmidzi no. 2156, dishahihkan Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi).
- Ujub
Berbeda lagi dengan ujub. Ujub adalah merasa tinggi dan agung atas kelebihan yang dimiliki, dan menisbatkan itu semua kepada dirinya sendiri bukan kepada Allah. Al Ghazali rahimahullah mendefinisikan ujub:
العُجْب: هو استعظام النعمة، والركون إليها، مع نسيان إضافتها إلى المنعم
“Ujub adalah merasa agung ketika memiliki suatu nikmat dan bersandar kepadanya, namun lupa menisbatkannya kepada pemberinya (yaitu Allah)” (Ihya’ Ulumiddin, 3/371).
Orang yang ujub merasa bahwa nikmat dan kelebihan yang ia miliki itu karena dirinya sendiri dan atas usahanya. Ia lupa bahwa ia mendapatkan itu semua semata-mata karena kemurahan Allah ta’ala kepadanya. Maka ujub adalah akhlak yang tercela. Allah ta’ala sebutkan bahwa salah satu sebab kalahnya kaum Mukminin adalah karena ujub:
لَقَدْ نَصَرَكُمُ اللّهُ فِي مَوَاطِنَ كَثِيرَةٍ وَيَوْمَ حُنَيْنٍ إِذْ أَعْجَبَتْكُمْ كَثْرَتُكُمْ فَلَمْ تُغْنِ عَنكُمْ شَيْئًا وَضَاقَتْ عَلَيْكُمُ الأَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ ثُمَّ وَلَّيْتُم مُّدْبِرِينَ
“Sungguh, Allah telah menolong kamu (mukminin) di banyak medan perang, dan (ingatlah) Perang Hunain, ketika jumlahmu yang besar itu membanggakan kamu, tetapi (jumlah yang banyak itu) sama sekali tidak berguna bagimu, dan bumi yang luas itu terasa sempit bagimu, kemudian kamu berbalik ke belakang dan lari tunggang-langgang” (QS. At-Taubah: 25).
Nabi shallallahu’alaihi wa sallam mengabarkan bahwa sifat ujub akan mendatangkan azab Allah dan juga besar dosanya. Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
وبينا رجلٌ يَمشي في حُلَّةٍ قد أعجبَتْه نفسُه خسَف اللهُ به فهو يتجَلجَلُ فيها إلى يومِ القيامةِ
“Di antara kita ada lelaki yang berjalan menggunakan pakaian yang bagus, yang membuat ia ujub kepada dirinya. Lalu Allah tenggelamkan ia ke dalam bumi dan ia tergoncang-goncang di dalamnya sampai hari kiamat” (HR. Bukhari no.5789, Muslim no.2088).
Dari Anas bin Malik radhiallahu’anhu, bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
لو لم تُذنِبوا لخشيتُ عليكم ما هو أكبرُ منه العُجبَ
“Andaikan kalian tidak berbuat dosa, aku khawatir kalian terjerumus dalam perkara yang lebih besar dari dosa yaitu ujub” (HR. Al Bazzar no.6936, dihasankan Al Albani dalam Shahih Al Jami no.2921).
Umar bin Khathab radhiyallahu’anhu juga mengatakan:
قال عمر رضي الله عنه: (أخوف ما أخاف عليكم أن تهلكوا فيه ثلاث خلال: شحٌّ مطاع، وهوى متبع، وإعجاب المرء بنفسه)
“Yang paling aku takutkan dari perkara yang bisa membinasakan kalian adalah tiga perkara: sifat pelit yang diikuti, hawa nafsu yang dituruti dan ujub kepada diri sendiri” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abdil Barr dalam Jami’ Bayanil Ilmi wa Fadhlihi, 1/568).
Perbedaan ujub dengan merasa senang dengan ibadah adalah, orang yang ujub menisbatkan kenikmatan dan kelebihan yang ia miliki kepada dirinya. Ini adalah akhlak yang tercela. Adapun orang yang merasa senang ketika bisa menyelesaikan ibadah, ia menisbatkan keutamaan tersebut kepada Allah. Ia meyakini bahwa karena taufik dari Allah lah, ia bisa menyelesaikan ibadah. Sehingga ini adalah akhlak terpuji sebagaimana telah dijelaskan.
- Sombong
Adapun sombong, telah didefinisikan maknanya oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam sendiri. Dalam hadits dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu’anhu, bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
لا يَدْخُلُ الجَنَّةَ مَن كانَ في قَلْبِهِ مِثْقالُ ذَرَّةٍ مِن كِبْرٍ قالَ رَجُلٌ: إنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ أنْ يَكونَ ثَوْبُهُ حَسَنًا ونَعْلُهُ حَسَنَةً، قالَ: إنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الجَمالَ، الكِبْرُ بَطَرُ الحَقِّ، وغَمْطُ النَّاسِ
“Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan walaupun sebesar biji sawi”. Ada orang yang bertanya, “Wahai Rasulullah, jika seseorang menyukai untuk menggunakan pakaian yang bagus dan sandal yang bagus, apakah itu kesombongan?”. Rasulullah menjawab, “Sesungguhnya Allah itu Maha Indah dan Allah ta’ala mencintai keindahan. Kesombongan itu menolak kebenaran dan merendahkan orang lain” (HR. Muslim no.91).
Kesombongan adalah akhlak tercela. Allah ta’ala kabarkan bahwa kesombongan adalah perilaku iblis. Allah ta’ala berfirman:
وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلاَئِكَةِ اسْجُدُواْ لآدَمَ فَسَجَدُواْ إِلاَّ إِبْلِيسَ أَبَى وَاسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ الْكَافِرِينَ
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat, “Sujudlah kamu kepada Adam!” Maka mereka pun sujud kecuali Iblis. Ia menolak dan menyombongkan diri, dan ia termasuk golongan yang kafir” (QS. Al Baqarah: 34).
Dalam hadits di atas, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam juga menyebutkan bahwa orang yang sombong diancam tidak akan masuk Surga. Dalam hadits yang lain, dari Haritsah bin Wahb Al Khuza’i radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
((ألا أخبركم بأهل الجنَّة؟ كل ضعيف متضاعف؛ لو أقسم على الله لأبرَّه، ألا أخبركم بأهل النَّار؟ كل عتلٍّ، جواظٍ مستكبرٍ))
“Maukah aku kabarkan kepada kalian siapa penghuni surga? Yaitu orang-orang yang lemah dan dianggap lemah. Namun jika mereka meminta kepada Allah dengan bersumpah, Allah akan mengabulkannya. Maukah aku kabarkan kepada kalian siapa penghuni neraka? Yaitu orang-orang yang keras, kasar dan sombong” (HR. Bukhari no.4918, Muslim no.2853).
Maka kesombongan adalah akhlak yang tercela yang harus disingkirkan dari diri-diri kita. Wajib bagi kita untuk menerima kebenaran dan tidak menolaknya, serta wajib untuk tidak merendahkan orang lain.
Namun apa bedanya ujub dengan sombong? Disebutkan oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lamin Nubala (15/395) :
قال أبو وهب المروزي: سألت ابن المبارك: ما الكبر؟ قال: «أنْ تزدري الناس». فسألته عن العجب؟ قال: «أنْ ترى أنَّ عندك شيئًا ليس عند غيرك، لا أعلم في المصلين شيئًا شرًا من العجب»
“Abu Wahab Al Marwazi bertanya kepada Ibnul Mubarak, “Apa itu sombong?” Ibnul Mubarak menjawab, “Sombong adalah merendahkan orang lain.”.
Al Marwazi berkata, “Lalu aku bertanya kepadanya tentang ujub.” Ibnul Mubarak menjawab, “Ujub adalah engkau merasa bahwa engkau memiliki suatu kelebihan yang tidak dimiliki orang lain. Dan aku tidak mengetahui ada keburukan yang terjadi pada orang yang shalat, yang lebih bahaya dari ujub“.
Sebagian ulama mengatakan, ujub itu rukunnya dua: dirinya dan sesuatu yang dibanggakannya. Sedangkan sombong itu rukunnya tiga: dirinya, yang dibanggakannya, orang lain yang menjadi objek sombongnya.
Maka seseorang bisa terjerumus dalam ujub dalam kesendirian, tidak harus ada orang lain. Sedangkan ketika seseorang ujub dan menampakkan kepada orang lain, itulah kesombongan.
Wallahu a’lam. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin, washallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in.
***
Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.
Artikel asli: https://konsultasisyariah.com/41003-perbedaan-pamer-riya-ujub-dan-sombong.html